JAKARTA | Seragam cokelat kerap diasosiasikan dengan ketegasan, aturan, dan penegakan hukum. Namun di balik lipatan kain itu, ada kisah-kisah sunyi yang jarang mendapat ruang pemberitaan. Kisah tentang pengabdian yang tidak berisik, tidak mengharapkan pujian, tetapi nyata dampaknya bagi masa depan banyak anak.
Di Indramayu dan Cirebon, dua anggota Polri memilih jalan yang tak lazim. Tanpa program resmi, tanpa anggaran negara, tanpa baliho atau seremoni. Dengan dana pribadi dan keyakinan yang tumbuh dari keprihatinan, mereka mendirikan sekolah gratis bagi anak-anak yang terancam putus sekolah karena himpitan ekonomi.
Bagi mereka, pendidikan bukan sekadar statistik angka partisipasi sekolah, melainkan benteng terakhir harapan. Ketika keluarga tak mampu, ketika negara belum sepenuhnya menjangkau, mereka hadir—bukan sebagai aparat, tetapi sebagai sesama manusia.
Sekolah itu berdiri dalam kesederhanaan. Gedung seadanya, bangku terbatas, papan tulis yang mulai usang. Tidak ada fasilitas mewah, bahkan listrik dan alat belajar kerap menjadi persoalan. Lebih dari itu, penolakan sosial pun pernah datang. Keraguan, prasangka, hingga pertanyaan tentang motif kerap mengiringi langkah mereka.
Namun lentera pengabdian itu tak pernah padam.
Di balik keterbatasan fisik, tumbuh keyakinan bahwa ilmu pengetahuan adalah jalan keluar dari lingkaran kemiskinan. Setiap anak yang kembali bersekolah adalah kemenangan kecil. Setiap huruf yang dipelajari adalah perlawanan terhadap ketidakadilan struktural yang selama ini membatasi akses pendidikan.
Secara perlahan, dampak itu terlihat. Anak-anak yang sebelumnya kehilangan arah kini kembali punya tujuan. Ada yang melanjutkan pendidikan formal, ada yang bekerja, berwirausaha, bahkan kelak bercita-cita mengabdi kembali untuk lingkungannya. Sekolah gratis itu bukan hanya ruang belajar, melainkan ruang pemulihan martabat.
Apa yang dilakukan dua anggota Polri ini sesungguhnya membuka ruang refleksi lebih luas: bahwa peran polisi tidak berhenti pada penegakan hukum. Di titik tertentu, kehadiran negara justru diuji melalui empati dan keberpihakan kepada yang paling lemah. Di sinilah pengabdian melampaui pangkat dan jabatan.
Mereka tidak membangun gedung megah, tetapi membangun masa depan. Tidak menegakkan hukum dengan pasal, tetapi dengan keteladanan. Sebuah pilihan sunyi, namun bermakna besar.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa wajah kepolisian tidak tunggal. Ada polisi yang bekerja di balik meja, di jalanan, dan ada pula yang bekerja di ruang kelas sederhana—menjaga harapan, satu anak demi satu anak.
Potret pengabdian tersebut terangkum dalam program “Lentera Pengabdian Petugas Kepolisian”, yang tayang Minggu, 28 Desember 2025, pukul 10.00 WIB,di CNN Indonesia.
TIM RMO

Tidak ada komentar:
Posting Komentar